TUGAS NON AKADEMIS TEORI ORGANISASI UMUM 2
“Prospek Perekonomian Nasional”
Nama : Katrina Margareth
Kelas : 2KA21
NPM : 11108103
Program Studi Sistem Informasi
Universitas Gunadarma
2010
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami ucapkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyusun dan menyelesaikan tugas non akademis mata kuliah Teori Organisasi Umum 2 .
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Teori Organisasi Umum 2 . Atas tersusunnya Tugas ini, tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada:
a) Bapak Nurhadi (Dosen mata kuliah Teori Organisasi Umum 2) yang telah membimbing saya dalam menyusun tugas ini .
b) Kepada orang tua saya yang selalu memberi dukungan dan membantu dalam pengerjaan tugas ini.
c) Rekan-rekan 2KA21 dan semua pihak yang turut membantu saya sampai tugas ini dapat terselesaikan dengan baik, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Saya sadar bahwa tugas ini masih sangat jauh dari sempurna oleh karena itu seluruh kritik dan saran yang ada relavansinya dengan tugas ini akan saya terima dari pembaca .
Bekasi , Februari 2010
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Era Pasca Soeharto atau Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
BAB II
ISI
2.1 Dinamika Ekonomi Indonesia 2007 & Prospeknya di Tahun 2008
Sejumlah kalangan seolah tidak percaya ketika Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga (Q-3) 2007 yang tumbuh 6,5%. Ini mengingat, situasi ekonomi di dalam negeri sedang dihantui oleh berbagai kondisi eksternal seperti krisis subprime mortagage di Amerika Serikat (AS) dan kenaikan harga minyak mentah dunia yang nyaris tembus US$100 per barel.
Penulis sendiri tidak terkejut dengan capaian tersebut. Di depan sekitar 50 wartawan ekonomi belum lama ini, penulis menyampaikan bahwa kinerja ekonomi Indonesia selama Q-3 2007 memang menunjukkan tanda-tanda yang tidak terpengaruh dengan gejolak eksternal tersebut. Gejolak subprime mortgage yang terjadi di AS misalnya, memang berpengaruh, tetapi hanya berhenti pada sektor keuangan di Indonesia (melalui pergerakan IHSG). Sementara itu, sektor riil tetap tumbuh seolah tidak terpengaruh sama sekali dengan hiruk pikuk di sektor keuangan.
Khusus mengenai gejolak kenaikan harga mentah, selama Q-3 memang belum memperlihatkan tanda-tanda mengkhawatirkan (meski berada di ksaran US$70-75 per barel). Tetapi, karena pergerakan harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) selama Q-2 dan Q-2 berkisar antara US$55-69, maka kenaikan harga minyak (ICP) selama kuartal ketiga tersebut tidak terlalu signifikan mengganggu asumsi harga minyak yang ditetapkan dalam APBN 2007. Dengan kata lain, dampak kenaikan harga minyak mentah pengaruhnya masih netral terhadap APBN selama Q-3. Penulis memperkirakan bahwa dampak kenaikan harga minyak mentah ini baru akan terlihat pada Q-4 2007.
2.2 Ekonomi 2008
Bagaimana dengan prospek perekonomian 2008? Sejumlah pihak menilai bahwa harga minyak mentah dunia akan terus naik. Satu prediksi menyatakan bahwa angka US$100 per barel tinggal menghitung hari. Prediksi lain menyatakan indikasi dari pasar future menunjukkan gejala kenaikan harga minyak hanya bersifat temporer. Harga WTI secara bertahap akan menuju kepada kisaran US$70 – US$80 per barel dalam jangka menengah.
Salah satu penyebab sulitnya memprediksi secara pasti harga minyak mentah ini adalah karena tingginya harga saat ini tidak seluruhnya disebabkan oleh adanya pelemahanUS$, ketegangan politik di Timur Tengah, dan berkurangnya kapasitas produksi minyak. Ditengarai ada unsur spekulasi yang ikut bermain di bursa berjangka global yang menginginkan harga minyak terus naik.
Dalam RAPBN 2008, dinyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi ditargetkan sebesar 6,8%. Pertumbuhan 6,8% terutama terutama diharapkan didukung oleh meningkatnya pertumbuhan investasi dan ekspor. Investasi diharapkan tumbuh 15,53%, konsumsi RT di atas 5%, konsumsi pemerintah 6,24%, ekspor 12,65% dan impor 17,81%.
Target pertumbuhan ini memang cukup berat, terlebih setelah bila melihat kinerja perekonomian hingga Q-3 2007 dimana laju investasi masih kurang dari 10% dan ekspor 7,8%. Namun demikian, angka 6,8% tetap realistis untuk dapat dicapai di tahun 2008. Sebab, melihat kinerja ekonomi Q-3 yang fantastis di tengah rendahnya laju pertumbuhan investasi, bila investasi dapat lebih didorong pertumbuhan ekonomi 2008 akan dapat tumbuh lebih tinggi lagi.
Khusus terkait dengan investasi ini, keterlibatan aktif dari instansi pusat, daerah, BUMN, perbankan, dan lembaga keuangan lainnya sangat penting untuk mendorong tumbuhnya sektor investasi ini. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, mengingat masih terdapat keraguan dari para pengusaha akan kesinambungan dari proses pemulihan ekonomi yang sedang terjadi.
Satu hal lagi yang perlu kerja keras adalah bagaimana mengejar target lifting minyak sebesar 1,034 juta ditengah kinerja lifting minyak yang terus menurun selama 3 tahun terakhir ini.
Mengingat bahwa tantangan 2008 ini cukup berat, sudah semestinya kita fokus membenahi ekonomi dibandingkan larut dalam hiruk pikuk mempersiapkan diri menghadapi perebutan kekuasaan di tahun 2009 nanti.
2.3 Perkembangan Ekonomi Dunia dan Indonesia
Dinamika perekonomian Indonesia tidak terlepas dari perkembangan ekonomi global dan
kawasan serta berbagai kemajuan dalam perbaikan, iklim investasi, infrastruktur, produktivitas dan daya saing (sisi penawaran) dalam negeri. Ekonomi dunia telah mampu tumbuh diatas 4% dalam lima tahun terakhir, lebih tinggi dari rata-rata historisnya.1 Perkembangan ini terutama didorong oleh pesatnya pertumbuhan ekonomi di negara berkembang (China dan India) serta kawasan Eropa. Tingginya pertumbuhan ekonomi dunia tersebut diiringi dengan volume perdagangan dunia yang juga tumbuh lebih tinggi dari tren jangka panjangnya.2 Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia tersebut, aliran Foreign Direct Investment (FDI) global juga meningkat pesat. Namun perkembangan ekonomi dunia yang impresif ini dibayangi dengan melambungnya harga minyak dan non-minyak dunia. Terus naiknya harga komoditas dan tetap tingginya pertumbuhan ekonomi dunia menyebabkan tekanan inflasi dunia meningkat.
Tekanan inflasi dunia yang meningkat seiring dengan harga komoditas yang masih tinggi
direspons secara bervariasi oleh bank sentral di beberapa negara. Disamping tekanan inflasi,
beberapa bank sentral tampaknya juga mempertimbangkan kondisi stabilitas pasar
keuangan dan prospek pertumbuhan ekonomi domestiknya. Bank sentral Amerika Serikat (The
Fed) memberi bobot yang tinggi pada pemulihan krisis di pasar keuangan dan stimulus
perekonomian domestik, yang terlihat dari agresivitas penurunan Fed Fund Rate menjadi 3%
pada Januari 2008. Sebaliknya, bank sentral Uni Eropa (ECB) dan Jepang (BOJ) tampaknya lebih memprioritaskan tekanan inflasi domestik sehingga memilih mempertahankan tingkat bunga. Dari sisi domestik, walaupun stabilitas ekonomi makro bisa dijaga, sejumlah masalah struktural, iklim investasi, infrastruktur, produktivitas dan daya saing (sisi penawaran) masih membayangi pencapaian pertumbuhan yang lebih cepat dan berkualitas. Hal ini antara lain karena struktur perekonomian pascakrisis lebih ditopang oleh konsumsi dan ekspor, sementara investasi belum menunjukkan peran yang signifikan. Belum pulihnya investasi ditunjukkan oleh menurunnya pangsa investasi terhadap PDB, terutama dialami oleh sektor terpenting dalam perekonomian Indonesia seperti industri pengolahan, pertanian dan pertambangan.
Dalam pada itu, pergerakan inflasi menunjukkan karakteristik yang berbeda antara periode sebelum dan sesudah krisis, dimana volatilitas inflasi jauh lebih tinggi pascakrisis. Kondisi di mana pertumbuhan ekonomi pascakrisis lebih rendah dan rata-rata inflasi yang sedikit lebih tinggi menunjukkan penawaran agregat yang mengindikasikan adanya permasalahan di sisi
penawaran (supply side constraints),3 sehingga menyebabkan perekonomian Indonesia lebih sensitif terhadap tekanan harga. Meskipun masih dibayangi berbagai permasalahan di atas, secara umum investor internasional menilai bahwa prospek usaha di Indonesia tetap baik dan Indonesia masih dianggap sebagai lokasi yang menarik untuk penempatan .
2.4 Prospek Ekonomi Indonesia 2008-2012
Secara umum, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi dunia dan volume perdagangan dunia yang tetap tinggi, harga komoditas migas dan nonmigas yang masih pada level tinggi, kebijakan moneter dunia dan Indonesia yang relatif stabil, kondisi fiskal Indonesia yang masih mantap, serta aliran FDI ke Indonesia yang meningkat, perekonomian Indonesia 5 tahun ke depan diprakirakan akan semakin membaik dan berada dalam kisaran 7,4-8,0%. Sumber pertumbuhan ekonomi ini terutama adalah perbaikan iklim investasi yang akan mendorong masuknya aliran FDI secara signifikan hingga mencapai 1,5% PDB pada 2012, sehingga diharapkan pangsa investasi terus meningkat dan mencapai sekitar 30% PDB pada 2012. Selain itu, perdagangan intra-regional dalam kawasan ASEAN dan Asia Pasifik diperkirakan masih menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang signifikan dalam jangka menengah.
Dari sisi domestik, kebijakan moneter yang tetap . disiplin dalam menjaga stabilitas ekonomi makro serta kebijakan fiskal yang masih bersifat stimulasi akan berperan penting dalam mendukung prospek perekonomian Indonesia dalam jangka menengah. Prakiraan pertumbuhan ekonomi di atas jelas membutuhkan prasyarat kebijakan struktural yang kokoh seperti perbaikan iklim investasi, pemberdayaan UMKM, reformasi sektor keuangan dan perbaikan infrastruktur.
Berbagai kondisi eksternal dan domestik yang kondusif tersebut diprakirakan akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan laju inflasi yang tetap terkendali. Stabilitas ekonomi makro yang terus terjaga dan potensi pasar yang besar menjadi daya tarik investor internasional untuk tetap melakukan investasi di Indonesia.8 Aliran masuk FDI yang terus meningkat diikuti dengan pesatnya pertumbuhan investasi yaitu dari kisaran 9,3% pada 2008 menjadi 13,0-15,0% pada 2012. Investasi yang meningkat pesat selanjutnya akan menaikkan (baca: perbaikan produksi dan distribusi) kapasitas perekonomian dari sisi penawaran sehingga pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat tercapai dari 6,2% pada 2008 menjadi 7,4-8,0% pada 2012, diiringi dengan menurunnya inflasi. Inflasi yang rendah yang dibarengi rencana kenaikan upah minimum menyebabkan daya beli riil masyarakat akan meningkat, sehingga konsumsi swasta diperkirakan akan tetap tumbuh tinggi mencapai 5,6-6,0% pada 2012. Kondisi eksternal yang masih kondusif menyebabkan kinerja ekspor Indonesia diprakirakan akan membaik dan aliran FDI global ke Indonesia terus meningkat sehingga neraca pembayaran tetap mantap dan nilai tukar masih dapat cenderung stabil. Berbagai pembenahan struktural yang dilaksanakan Pemerintah, seperti perbaikan infrastruktur, perizinan, bea cukai dan perpajakan diperkirakan memberikan dukungan yang cukup signifikan dalam meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia. Selain itu, maraknya aliran masuk FDI akan disertai perbaikan teknologi yang berdampak peningkatan produktivitas dan efisiensi. Namun, kenaikan ekspor dan maraknya kegiatan investasi akan diikuti oleh kenaikan impor barang dan jasa. Sebagai akibatnya surplus pada transaksi berjalan akan terus menurun. Namun demikian, adanya peningkatan aliran FDI global akan menjadi katup pengaman bagi kondisi neraca pembayaran yang mengalami tekanan tersebut. Relatif amannya neraca pembayaran yang didukung oleh membaiknya fundamental perekonomian diprakirakan akan mampu menstabilkan nilai tukar. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, laju inflasi yang tetap terkendali, nilai tukar yang cenderung stabil, serta perbaikan sisi penawaran diprediksi akan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan tinggi yang didorong oleh meningkatnya kapasitas produksi akan mampu menyerap tambahan tenaga kerja sehingga tingkat pengangguran diproyeksikan turun menjadi 7,5-8,5% pada 2012. Meningkatnya penyerapan tenaga kerja yang dibarengi dengan inflasi yang terus menurun akan berdampak pada pengurangan tingkat kemiskinan. Berbagai capaian perbaikan propek perekonomian dalam jangka menengah tersebut pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dimana pendapatan per kapita masyarakat diharapkan meningkat dari USD 1.980 pada 2008 menjadi USD 2.950√3.000 pada 2012.
2.5 Tinjauan Terkini Perekonomian Dunia dan Indonesia
Lebih dari 80% output sektor pertanian primer dan merupakan komoditas input yang dominant terhadap sektor agro industri. Sementara berdasarkan kongres Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia 2006 telah ditetapkan 5 komoditas unggulan pertanian yaitu kelapa sawit, kopi, karet,
coklat, serta ikan dan udang. Subsektor perkebunan kelapa sawit (CPO),karet, kakao, dan gula memiliki prospek yang cerah di pasar internasional dengan daya saing yang semakin meningkat. Tiga faktor fundamental yang mendasarinya yaitu keberhasilan pertemuan WTO di Hong Kong yang menyepakati bahwa semua bentuk subsidi ekspor pada sektor pertanian sudah
harus dihapuskan paling lambat tahun 2013, negara-negara pesaing menghadapi tekanan untuk
melakukan reformasi sektor pertanian dengan mengurangi dukungan harga, subsidi dan
proteksinya secara substansial serta kecenderungan kenaikan BBM. Pertumbuhan tahunan sektor pertambangan dan penggalian sangat berfluktuasi terutama dipengaruhi oleh pertumbuhan pada sub sektor pertambangan migas. Peran sektor pertambangan walaupun relatif kecil dalam PDB (10,6% pada 2006) dan cenderung tumbuh lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi (5% pada 2006) namun berperan strategis dalam penyediaan energi
untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Di samping itu subsektor
pertambangan migas masih berperan besar dalam penerimaan APBN. Investasi di sektor pertambangan relatif rendah dibandingkan sektor lain (Rp 11 Triliun atau 2,6% pada 2007). Hal tersebut juga dikonfirmasi dengan data pemberian persetujuan PMDN dan PMA (BKPM), data kredit investasi serta hasil survei Price Waterhouse Cooper. Nilai PMDN dan PMA yang disetujui cenderung mengalami tren penurunan. Hasil survei dimaksud menyatakan bahwa pengeluaran investasi pada perusahaan pertambangan mineral dan batubara mengalami penurunan dan mulai menunjukkan perbaikan pada tahun 2002. Terdapat 10 komoditas unggulan di sektor
pertambangan yaitu minyak dan gas bumi di subsektor migas dan batubara, tembaga, emas,
perak, timah, nikel, bauksit dan bijih besi di subsektor non migas. Selain karena memiliki
linkage yang tinggi, komoditas-komoditas tersebut perlu didorong untuk meningkatkan
produksinya karena berdaya saing tinggi. Subsektor pertambangan migas masih
mendominasi proporsi sektor pertambangan (53% pada 2007) meskipun memiliki tren
menurun. Penurunan produksi migas perlu diwaspadai dengan jalan meningkatkan investasi
di sektor pertambangan sembari mengurangi tingkat konsumsi migas dalam negeri.
Sumber daya dan cadangan sektor pertambangan terutama batubara, gas, minyak
bumi masih cukup potensial untuk dikembangkan. Perkembangan produksi minyak mentah
menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir akibat sumur-sumur sudah banyak
yang tua sementara pengembangan dalam skala yang luas sangat minim. Negara-negara non OPEC seperti Rusia, Angola, Brazil, Azerbaijan, AS, dan Kanada diperkirakan akan terus meningkatkan kapasitas produksi mereka. Pada subsektor migas masih dijumpai sejumlah hambatan yang terkait dengan kebijakan atau peraturan seperti pungutan pajak, ketentuan
dalam kontrak kerjasama, ketenagakerjaan, masalah sosial dan lingkungan hidup. Pada
subsektor nonmigas masih terdapat tantangan terkait dengan kebijakan lintas sektoral yang
tumpang tindih, implementasi otonomi daerah yang tidak mendukung, pungutan negara pajak
maupun non pajak, minimnya pembiayaan perbankan serta masalah yang terkait dengan
aspek sosial dan lingkungan hidup. Secara sektoral, penyumbang PDB terbesar
adalah sektor industri pengolahan (28% pada 2007) namun stok kapital neto tertinggi justru
dimiliki oleh sektor jasa (25,3%). Hal ini terkait dengan kebutuhan pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi di era globalisasi di segala bidang, misalnya untuk transaksi
keuangan. Secara umum peran sektor industri nonmigas dalam perekonomian nasional masih
dominan walaupun sempat mengalami penurunan selama periode krisis. Pada 2007,
pangsa sektor industri non migas ini mencapai 22,8% dari total PDB, dibandingkan pangsa
industri migas yang hanya 5,2%. Namun sektor ini tetap sensitif terhadap gejolak permintaan
eksternal, dan masih dilingkupi persoalan rendahnya daya saing serta rendahnya tingkat
investasi. Dilihat dari segi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja
maupun pemerataan pembangunan, peran ini masih lebih rendah dibandingkan pada periode
pra krisis. Hal ini disebabkan karakteristik industri nonmigas yang dominan dalam melayani pasar
domestik tetapi memiliki tingkat ketergantungan impor yang tinggi, sensitivitas sektor industri
terhadap gejolak permintaan eksternal yang masih tinggi, rendahnya daya saing, serta minimnya
tingkat investasi. Komoditas nonmigas yang memiliki daya saing dan nilai tambah cukup tinggi
antara lain Minyak Kelapa Sawit (CPO) serta beberapa komoditas tekstil dan TPT.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis, secara umum dapat disimpulkan bahwa GDP per kapita berpengaruh secara positif dan signifikan pada peningkatan kinerja ekspor. Adanya kesepakatan pembentukan kawasan perdagangan bebas AFTA yang tergambar
dari variabel dummy AFTA juga menunjukkan hal serupa. Jarak sebagai
perwakilan biaya yang timbul dalam transportasi berpengaruh negatif terhadap peningkatan ekspor. Secara statistik, dengan adanya kesepakatan AFTA, kinerja ekspor negara-negara anggota meningkat dibandingkan sebelum menjalani kesepakatan, namun dalam kenyataan
hasilnya belum optimal. Hal ini terbukti dari pangsa ekspor intra-ASEAN yang pada 2006
hanya sebesar 24.9%, tidak berbeda jauh pada 1999 dengan pangsa 21.7%.4
Kemungkinan ini terjadi akibat ekonomi ASEAN yang cenderung lebih kompetitif
ketimbang komplementer. Persaingan yang terjadi semakin tajam melalui hambatan
non-tarif yang diterapkan untuk menjaga produk lokal. Indonesia perlu mengupayakan berbagai langkah agar hasil yang dipetik dari integrasi ekonomi kawasan benar-benar maksimal.
DAFTAR ISI
Daftar Isi………………………………………………………….. I
Kata Pengantar………………………………………………......II
Isi…………….......................................................................3-8
Bab 1 Pendahuluan
Bab 2 Isi
2.1 Dinamika Ekonomi Indonesia 2007 & Prospeknya di Tahun 2008
2.2 Ekonomi 2008
2.3 Perkembangan Ekonomi Dunia dan Indonesia
2.4 Prospek Ekonomi Indonesia 2008-2012
2.5 Tinjauan Terkini Perekonomian Dunia dan Indonesia
Bab 3 Penutup……………………………………………9
Daftar Pustaka…………………………………………………….10
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia, 2006, Outlook Ekonomi Indonesia 2006-2010, edisi Juli 2006, Bank Indonesia.
http://www.google.com
Kamis, 18 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar