TUGAS TULISAN TEORI ORGANISASI UMUM 2
“KASUS TENTANG MANAGEMENT pada PT. INDOSAT Tbk”
Nama : Katrina Margareth
Kelas : 2KA21
NPM : 11108103
Program Studi Sistem Informasi
Universitas Gunadarma
2010
DAFTAR ISI
Daftar Isi………………………………………………………….. ……I
Kata Pengantar……………………………………………….........II
Bab 1 Pendahuluan……………………………………..4
1.1 Pendirian Perusahaan
Bab 2 Isi………………………………………………...5-10
2.1 Potret Buram Dunia Telekomunikasi Indonesia
2.2 Privatisasi Indosat
Bab 3 Penutup…………………………………………….11
Daftar Pustaka………………………………………………………12
KATA PENGANTAR
Pertama-tama saya ucapkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyusun dan menyelesaikan tulisan mata kuliah Teori Organisasi Umum 2 .
Tulisan ini disusun untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Teori Organisasi Umum 2 . Atas tersusunnya tulisan ini, tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada:
a) Bapak Nurhadi (Dosen mata kuliah Teori Organisasi Umum 2) yang telah membimbing saya dalam menyusun tulisan ini .
b) Kepada orang tua saya yang selalu memberi dukungan dan membantu dalam pengerjaan tulisan ini.
c) Rekan-rekan 2KA21 dan semua pihak yang turut membantu saya sampai tulisan ini dapat terselesaikan dengan baik, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Saya sadar bahwa tulisan ini masih sangat jauh dari sempurna oleh karena itu seluruh kritik dan saran yang ada relavansinya dengan tulisan ini akan saya terima dari pembaca .
Bekasi , Juni 2010
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendirian Perusahaan
PT Indosat Tbk (dahulu PT Indonesian Satelite Corporation Tbk) (“Perusahaan”) didirikan dalam rangka Undang-undang penanaman Modal Asing No. 1 Tahun 1967 berdasarkan akta notaries Mohamad Said Tadjoedin, S.H. No. 55 tanggal 10 November 1967 di Negara Republik Indonesia . Akta pendirian ini diumumkan dalam berita Negara Republik Indonesia No. 26 tanggal 29 Maret 1968, Tambahan No.24 . Pada tahun 1980 Perusahaan dijual kepada Pemerintah Republik Indonesia dan menjadi Badan Usaha Milik Negara (Persero) .
Pada tanggal 14 Agustus 2000 , Pemerintah Republik Indonesia , melalui Menteri Perhubungan, memberi izin prinsip kepada Perusahaan sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi Digital Communication System (“DCS”) 1800 nasional sebagai kompensasi atas terminasi dini , efektif tanggal 1 Agustus 2003 . Pada tanggal 23 Agustus 2001 , Perusahaan memperoleh izin penyelenggaraan dari Menteri Perhubungan .
BAB II
ISI
2.1 Potret Buram Dunia Telekomunikasi Indonesia
Ribut-Ribut seputar Divestasi Indosat
Akhir tahun 2002, Pemerintah melakukan divestasi 41,94% saham PT Indonesia Satellite Corporation, Tbk (Indosat), yang akhirnya dijual kepada STT (Singapore Telecom and Telemedia). Pihak pembeli happy, pemerintah happy karena dengan harga Rp 12.950 per saham, pemasukan yang didapat sekitar Rp 5 triliun lebih, yang berarti pemasukan yang melebihi target, dan manajemen Indosat happy, karena komitmen pemegang saham baru untuk tidak mengganti direksi, tidak melakukan PHK, dan akan membangun 750.000 SST dalam jangka lima tahun ke depan. Masyarakat pun seharusnya happy, karena dengan tambahan modal baru, Indosat akan mampu melakukan fungsinya sebagai operator telekomunikasi dalam negeri yang bersaing dengan si raja monopoli, Telkom. Namun, apa yang terjadi? tiba-tiba semua pihak marah, DPR marah karena merasa tidak diajak konsultasi (dan mungkin tidak kebagian...), karyawan marah karena merasa ditipu (ternyata yang tanda tangan adlah ICL, anak perusahaan STT di Mauritius), (sebagian) masyarakat marah karena merasa dikhianati, dan merasa memiliki BUMN ini (padahal tidak pernah, dan tidak akan pernah bisa, kecuali mereka yang beli saham Indosat di BEJ), dan pak menteri yang laksamana itu marah karena dihina oleh ketua MPR (yang dulu pernah memperingatkan Presiden untuk tidak omong sembarangan). Apa yang terjadi? semua media massa pun ramai-ramai membicarakan masalah ini, mengalahkan pemberitaan soal teroris, peringatan hari besar (Idul Fitri, Natal) dan tahun baru.
Ada apa dengan Indosat? Sekilas sejarah, PT Indonesia Satellite Corporation didirikan tahun 1968 sebagai PMA oleh perusahaan asing (ITT), untuk menangani telekomunikasi luar negeri (SLI). Tahun 1980, Indosat dinasionalisasi, djadikan BUMN. Era 90-an, ketika bisnis telekomunikasi (sedikit) diliberalisasi, Indosat dan Telkom mulai ramai-ramai berinvestasi denan membentuk perusahaan patungan dengan swasta, di antaranya Satelindo, Telkomsel, dan MGTI, yang menjalankan KSO untuk wilayah Jawa Tengah dan DIY. Setelah krisis dan masuknya IMF, sektor telekomunikasi pun diliberalisasi total. Monopoli Telkom di bisnis telepon fixed line lokal dan SLJJ, serta duopoli Indosat dan Satelindo untuk SLI pun diterminasi, dan keduanya diberi lisensi untuk memasuki sektor-sektor tersebut. Restrukturisasi pun dilakukan, kepemilikan silang di sejumlah perusahaan patungan pun diakhiri dengan cara tukar guling. Rencananya, Telkomsel akan dibeli Telkom, kemudian Satelindo, Telkom Divre V, dan Lintas Artha dibeli Indosat. Dengan cara ini, kompetisi di bidang telepon fixed line dan seluler akan berlangsung dengan lebih fair. Apa lacur, Divre V Telkom gagal diakuisisi Indosat, meskipun sudah disetujui oleh pihak manajemen. Penolakan yang gencar dari karyawan, diiringi aksi demo dan mogok mewarnai proses ini. Apa yang melatarbelakangi penolakan ini, sangat msiterius. Bagi masyarakat, aksi demo dan mogok itu jelas merugikan. Apakah masyarakat dirufgikan karena Indosat membeli Divre V? Masyarakat lebih dirugikan kala Telkom gagal mengurusi rekanan KSO-nya di Divre III Jawa Barat, AriaWest. Waktu itu, selama 6 bulan masyarakat tidak terlayani. Akibat kegagalan ini, langkah Indosat memasuki bisnis telepon fixed line pun tersendat, dan kompetisi yang diharapkan akan mulai tahun ini pun agaknya masih menjadi mimpi.
Mengapa kompetisi sangat penting? Penetrasi telepon fixed linedi republik kita ini sangat rendah, hanya 3,4% dari 210 juta (sekitar 7 juta SST) yang sudah dibangun. Sebagai BUMN yang bertanggung jawab atas ini, Telkom selama 30 tahun telah berusaha sekuat tenaga untuk mampu mencapai setidaknya 10%, namun berbagai upaya itu gagal. Terakhir , pola KSO yang dimulai tahun 1995 kandas, dan malah mejadi beban Telkom untuk membeli kembali rekanan KSO-nya. Sebagian kegagalan itu dapat disalahkan kepada krisis ekonomi mulai akhir 1997, sebagian lagi pada ketidakprofesionalan para rekanan itu, yang ternyata hanya mengandalkan koneksi dan tidak menyetor modal (saham kosong), sehingga struktur permodalannya rapuh, dan manajemennya gagal mengantisipasi keadaan yang berubah cepat. Dari sini, penolakan para karyawan Divre V dapat ditarik benang merahnya, yaitu kurang profesionalnya rekanan KSO Divre V (MGTI), yang malah membuat kinerja Telkom, khususnya Divre V, menjadi memburuk di mata masyarakat. Ironisnya, untuk mempercepat penetrasi jaringan telekomunikasi itu ditempuh cara yang tidak populer, yaitu menaikkan tarif secara berkala. Apalagi dihubungkan dengan minat investor asing untuk masuk ke bisnis ini adalah tarif yang tinggi. Entah apakah mereka sebodoh itu berpikir bahwa masyarakat kita akan mampu menikmati sarana telekomunikasi dengan tarif mahal. Pada akhirnya, yang terjadi adalah seperti saat ini, ketika banyak telepon tidur, komplain mengenai billing, dan rasio keberhasilan panggil yang rendah. Investor dianggap hanya tertarik pada monopoli, potensi pasar, dan tarif yang tinggi, tanpa memperhitungkan potensi perkembangan masyarakat di masa depan. JIka ITU menetapkan pertumbuhan ekonomi akan meningkat saat dibangun sarana telekomunikasi, itulah yang mestinya diambil sebagai pertimbangan utama, karena pasar telekomunikasi sekarang bukanlah pasar monopolistik, bahkan di Indonesia. Mereka yang tidak puas dengan layanan Telkom, akan beralih ke telepon seluler, VoIP, internet, atau bahkan kembali ke layanan pos. Pasar Indonesia mungkin cenderung pasrah, namun saat dikecewakan, mereka tetap diam, namun diam-diam beralih ke lain hati.
Pasar telepon seluler yang kompetitif (walaupun sebagian menyebutnya oligopolistik), berkembang pesat, bahkan dalam krisis. Penggunanya sekarang sudah melampaui telepon fixed line, tentu dengan asumsi tiap orang hanya punya satu Hp dan satu nomor (di pihak lain pelanggan telepon fixed line juga ada yang berlangganan lebih dari satu saluran). Sebagai contoh kasus saja, pasar telepon seluler dapat dijadikan contoh bagaimana kompetisi dapat mengembangkan pasar demikian cepat. Saat teknologi NMT/AMPS tidak diminati, muncul teknologi GSM yang memungkinkan masyarakat mengganti-ganti handset dengan mudah tanpa mengganti nomor. Saat krisis terjadi, produk prabayar muncul dan menjadi dominan (sekitar 80% pemakai telepon seluler secara keseluruhan). Saat teknologi GSM 900 mulai jenuh, munucl teknologi DCS 1800. Layanan SMS, WAP, GPRS, dan microbrowser menjadi nilai tambah yang dipertaruhkan setiap operator dan vendor handset dalam persaingan yang kian ketat. Dalam soal tarif (khusus prabayar), persaingan antaroperator dapat terlihat dari struktur tarif yang dikenakan. Ada yang menurunkan harga paket perdananya, dengan kompensasi tarif pulsa yang lebih mahal, atau sebaliknya. Diikuti dengan pengenaan tarif diskon, bebas roaming, tarif flat, dan bonus pulsa berkala. Juga ada paket diskon tarif untuk penggunaan bersama (satu keluarga, grup, perusahaan). Singkatnya, dengan kompetisi konsumen diuntungkan karena dapat memilih teknologi yang tepat, tarif yang bersaing, dan dapat dengan mudah berganti layanan operator jika diaras kurang memuaskan.
Lalu kenapa Indosat terus digugat? Ada beberapa poin, seperti nasionalisme (?), keamanan (?), ketidaktransparanan, kekhawatiran monopoli, dan faktor lain yang lebih umum seperti perlakuan pemerintah terhadap BUMN dan proses divestasinya. Mengenai nasionalisme, kita seharusnya lebih realistis, agar tidak terjebak pada xenofobia (ketakutan akan segala sesuatu yang berbau asing). Bukan pertama kali ini modal asing masuk ke negeri kita. Belum lagi kalau kita menghitung bahwa hampir setiap segi telekomunikasi itu berbau asing, terutama teknologinya. Soal ketakutan negara asing mendikte kita, ada yang harus lebih kita prihatinkan, yaitu kenyataan bahwa kiat tidak bisa mengendalikan setiap sektor ekonomi kita sendiri, di luar telekomunikasi. Sumber daya alam kita, seperti pertanian, kehutanan, dan pertambangan sudah sejak lama dikuasai asing, dan kita diam saja. Kedua, soal keamanan, karena konon satelit kita dikuasai Singapura. Direksi Indosat sendiri menyatakan, bahwa pemerintah sama sekali tidak menggunakan satelit Palapa milik Indosat (tepatnya milik Satelindo, yang 100% sahamnya dimiliki Indosat). Palapa digunakan 40% oleh pihak asing, dan 60% oleh pihak swasta, terutama oleh stasiun TV swasta nasional. Satelit milik Indonesia tidak cuma Palapa, ada TelkomSat milik Telkom (yang digunakan pemerintah untuk kepentingan hankam) dan Garuda milik PSN (Pasifik Satelit Nusantara). Soal ketidaktransparanan, penulis sendiri kurang meguasai seluk beluk jual-beli perusahaan, sehingga tidak bisa mengomentari lebih lanjut. Mengenai kekhawatiran monopoli, dalam hal ini di bidang telepon seluler, sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan. Karena SingTel hanya menguasai 35% saham Telkomsel (65% lainnya dimiliki Telkom, yang masih dikuasai pemerintah), dan saham STT di Indosat pun belum berarti mayoritas tunggal, karena belum mencapai 51%. Selain itu, masih ada operator telepon seluler lain, Excelcomindo, yang masih berstatus swasta nasional, meskipun pangsa pasarnya cuma sekitar 15%.
Lalu, kita pun bertanya, apa keuntungannya divestasi ini? Yang jelas, adalah memacu kompetisi di bidang telepon fixed line, karena ada komitmen untuk lima tahun ke depan akan dibangun 750.000 SST baru. Tentu masih jauh dari instalasi milik Telkom yang 7 juta lebih itu, yang akan menjadi sekitar 9-10 juta lima tahun lagi. Apakah Telkom dirugikan dengan kompetisi? justru mereka diuntungkan dengan adanya tarif interkoneksi yang dibayarkan operator baru (Indosat) kepadanya. Meskipun melihat kondisi sekarang, masih sulit membayangkan kompetisi yang sehat di sektor fixed line seperti halnya telepon seluler. Setidaknya ada tindakan nyata untuk memulai, sekarang atau tidak sama sekali. Menurut hemat penulis, kompetisi sebenarnya dapat dilakukan dengan memecah Telkom menjadi beberapa perusahaan regional, atau memisah Telkom menjadi dua perusahaan, yang satu mengurusi jaringan (network provider) saja, dan yang lain sebagai operator jasa telekomunikasi (service provider). Alternatif lain adalah menggunakan teknologi PLC (Power Line Communication) dengan memanfaatkan jaringan PLN yang lebih luas dibandingkan jaringan milik Telkom.
Tentunya, tidak semua niat baik diiringi dengan pelaksanaan yang baik. Seseorang yang ingin beramal dengan menyumbang, tentu tidak seharusnya melaksanakan niatnya dengan mencurinya terlebih dahulu. Divestasi Indosat mungkin bertujuan baik, namun bisa saja cara pelaksanaannya salah. Penulis mencoba percaya pada niat baik pemerintah untuk memacu jalannya kompetisi di bidang telekomunikasi, khususnya telepon fixed line, bukan sekadar memenuhi tuntutan IMF, mengisi kas negara dan mengurangi defisit, atau malah agenda tersembunyi lain.
2.2 Privatisasi Indosat
Pengertian Privatisasi
Privatisasi merupakan kebijakan publik yang mengarahkan bahwa tidak ada alternatif lain selain pasar yang dapat mengendalikan ekonomi secara efisien, serta menyadari bahwa sebagian besar kegiatan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan selama ini seharusnya diserahkan kepada sektor swasta.
Menurut UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.
Sejak mulai dikenal pada awal tahun 1960-an, privatisasi terkesan sebagai program yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah suatu negara yang hendak menata ulang perekonomiannya. Terkait dengan peran pemerintah di dalam perusahaan negara, Savas (Privatization, The Key to Better Government,1987) memberikan definisi privatisasi sebagai tindakan mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peran swasta, khususnya dalam aktivitas yang menyangkut kepemilikan atas aset-aset. Definisi ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Butler (1991), yaitu bahwa privatisasi adalah pergantian fungsi dari sektor publik menuju sector swasta, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Sebenarnya asumsi dasar penyerahan pengelolaan pelayanan publik kepada sektor swasta adalah peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya. Privatisasi akan mengembalikan mekanisme pasar, sehingga memungkinkan terjadinya efisiensi ekonomi.
Pada pasar persaingan monopolistik terdapat banyak penjual dan pembeli serta berbagai jenis produk. Para pemain pun dapat bebas keluar dan masuk ke dalam industri. Namun setiap perusahaan memiliki merk pada produknya masing-masing sehingga perusahaan yang merk dagangnya sudah kuat akan dapat menguasai pasar.
Privatisasi merupakan suatu cara agar dapat meningkatkan persaingan dan menurunkan biaya, mengalokasikan sumber daya dengan lebih efisien, dan mencegah terjadinya monopoli. Intervensi pemerintah diperlukan untuk memperbaiki atau mengganti kerugian atas kegagalan pasar yang disebabkab oleh eksternalitas yang negatif.
Berbagai jenis barang, yaitu public goods, merit goods, dan demerit goods, jika beredar dalam jumlah yang tepat atau bahkan tidak beredar sama sekali akan menyebabkan sistem pasar tidak efisien sehingga terjadi kegagalan pasar. Privatisasi sering diasosiasikan dengan perusahaan berorientasi jasa atau industri, seperti pertambangan, manufaktur atau energi, meski dapat pula diterapkan pada aset apa saja, seperti tanah, jalan, atau bahkan air.
Secara teori, privatisasi membantu terbentuknya pasar bebas, mengembangnya kompetisi kapitalis, yang oleh para pendukungnya dianggap akan memberikan harga yang lebih kompetitif kepada publik. Sebaliknya, para sosialis menganggap privatisasi sebagai hal yang negatif, karena memberikan layanan penting untuk publik kepada sektor privat akan menghilangkan kontrol publik dan mengakibatkan kualitas layanan yang buruk, akibat penghematan-penghematan yang dilakukan oleh perusahaan dalam mendapatkan profit.
Motivasi penjualan perusahaan Negara atau perusahaan Negara yang dikontrakkan dengan pihak swasta, adalah peningkatan efisiensi sektor publik, selayaknya kinerja efisiensi sektor swasta, kemungkinan laba, insentif yang lebih tinggi, efisien, dan berorientasi kepada konsumen.
Privatisasi Indosat
Serikat Pekerja PT Indonesian Satellite Corporation Tbk. (Indosat) menolak tegas privatisasi Indosat kepada Singapore Technologies Telemedia (STT). Mereka menuding jika ditambah dengan privatisasi tahap pertama. Seluruh rangkaian privatisasi Indosat menyebabkan negara rugi lebih dari Rp1,8 triliun. Ketua Dewan Pimpinan Pusat SP Indosat Sukur Mulya Maldi menilai harga saham Indosat sebesar Rp 12.950 persaham yang dilepas kepada STT tidak mencerminkan nilai fundamenta perusahaan. Ia mengatakan nilai tersebut bahkan lebih rendah dibandingkan dengan nilai saham PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) yang dibeli Indosat pada triwulan III 2002 dari DeTe Asia sebesar US$ 350 juta atau Rp 3,15 triliun untuk 25 persen saham, atau setara dengan US$ 1,3 miliar untuk 100 persen saham. Padahal, kata dia, sejak pembelian tersebut Satelindo telah mengalami kemajuan pesat dari sisi teknologi dan jumlah pelanggan. Seharusnya, kata dia lagi, kontribusi Satelindo saja dalam penjualan ini bisa membuat saham Indosat berharga Rp 14 ribu persaham. “Kami melihat Menteri BUMN telah memberikan gratis seluruh bisnis dan lisensi Indosat selain Satelindo secara gratis kepada STT,” ujarnya. Selain Satelindo, Indosat juga memiliki bisnis sambungan internsional, perusahaan seluler Indosat Multi Media Mobile (IM3), perusahaan penyedia jasa internet Indosat Mega Media (IM2) dan lebih dari 20 anak perusahaanlainnya. Pada 15 Desember lalu pemerintah melepas 42 persen sahamnya di Indosat kepada STT senilai US$ 630 juta atau Rp 5,62 triliun. STT menyingkirkan saingan terdekatnya. Telekom Malaysia yang menawar Rp 12.500 persaham. SP Indosat juga mengkhawatirkan akan terjadinya monopoli di sektor telekomunikasi seluler, sebab selain memiliki Indosat yang membawahkan Satelindo dan IM3, induk perusahaan STT yaitu Temasuk telah pula mengakuisisi 35 persen saham PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) lewat anak perusahaan lainnya, Singapore Telecommunication (SingTel). Selain itu SP Indosat mempertanyakan pula sikap Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi yang tidak pernah memberitahukan kepada publik bahwa yang sebenarnya menjadi investor dan menandatangani shareholder agreement dengan pemerintah adalah Indonesia Communication Limited (ICL). ICL adalah sebuah entitas bisnis yang dibentuk STT dan berpusat di Mauritus. Padahal selama proses privatisasi sejak masuknya calon penawar, sampai diumumkannya daftar singkat empat calon penawar yang bisa melakukan uji tuntas, ICL belum masuk dalam daftar yang diumumkan ke publik dan tidak pernah memenuhi persyaratan dari tender privatisasi.
Dradjad H Wibowo mengatakan, manfaat privatisasi harus bisa dirasakan rakyat banyak. Seharusnya pemerintah melakukan moratorium terlebih dulu terhadap privatisasi BUMN sampai adanya UU Privatisasi. Akan sangat menguntungkan bila Indosat dijual ke dalam negeri dan bisa dipilah-pilah perusahaan mana yang bisa diprivatisasi. Menurut dia, privatisasi ini sangat kental nuansa kepentingan kelompok dan partisan. Seperti diketahui, pemerintah akhirnya menetapkan STT sebagai pemenang tender divestasi 41,94% saham PT Indosat, Tbk. STT mengalahkan satu saingan utamanya, yakni Telekom Malaysia yang maju hingga akhir final bid (penawaran akhir). STT menawar harga saham 434.250.000 (41,94%) saham seri B milik pemerintah itu seharga Rp 12.950 per saham atau total penjualan senilai Rp 5,62 triliun. Harga ini premium 50,6%. Telekom Malaysia hanya menawar Rp 12.650 per saham.
Melalui divestasi saham PT Indosat Tbk sebesar 41,94% pada 15 Desember 2002 lalu, Temasek menjadi pemegang saham ganda atas perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Setidaknya secara tidak langsung melalui Singapore Technologies Telemedia (STT) yang 100% dimiliki oleh Temasek. Padahal, sejak 2002 sampai kini melalui Singapore Telecommunication Limited (Singtel)- yang 100% sahamnya dimiliki juga oleh Temasek- telah memiliki saham sebesar 35% di PT Telkomsel yang juga merupakan anak perusahaan PT Telkom Tbk.
BAB III
PENUTUP
Penanaman modal atau investasi dalam suatu perekonomian sangat diperlukan, baik untuk menunjang pertumbuhan ekonomi maupun perluasan tenaga kerja. Oleh karena itu upaya untuk menarik investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia secara intensif sudah dilakukan oleh pemerintah. Agar pelaku ekonomi merasa aman dan tentram dalam melakukan aktivitasnya maka perlu stabilitas ekonomi didalam negeri, maka mempertahankan stabilitas ekonomi merupakan salah satu prasarat untuk membangun dan menggerakkan roda perekonomian.
DAFTAR PUSTAKA
Adolf, huala dan A. Chandrawulan. 1995. Masalah-masalah hukum dalam perdagangan
internasional. Jakarta Rajawali.
Adolf, huala. 2004. Perjanjian penanaman modal dalam hukum perdagangan internasional
(WTO). Jakarta Rajawali.
Anoraga,Pandji. 1994. Perusahaan multinasional dan penanaman modal asing. Semarang. Pustaka jaya.
Bastian Indra. 2007. Privatisasi di Indonesia, Jakarta, Salemba Empat.
Sunarjati hartono. 1972. Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing, Bandung, Binacipta.
www.tempo.com
www.republika.com
www.kompas.com
www.bappenas.go.id
Indra Bastian.2007. Privatisasi di Indonesia Teori dan Implementasi. Jakarta, Salemba Empat.
www.google.com
Sabtu, 05 Juni 2010
Langganan:
Postingan (Atom)